Penemuan Informasi DNA Badak Sumatera Yang Kian Terancap

Tim ilmuwan internasional telah menghasilkan rangkaian genom untuk badak Sumatra yang terancam punah (Dicerorhinus Sumatrensis), spesies terkecil dari lima spesies badak yang masih hidup dan merupakan satu dari tiga spesies asli Asia.


Badak Sumatera adalah hewan pemakan tumbuhan atau herbivora. Hewan ini dapat mencapai :
  • ketinggian bahu 3,67 - 4,76 kaki (1,12 - 1,45 m)


  • panjang tubuh 7,7-10,4 kaki (2,36 - 3,18 m)


  • panjang ekor 14 - 28 inci (35-70 cm)


  • bobot berkisar antara 500 sampai 1.000 kg.


  • Spesies ini dapat dikenali dengan mudah oleh dua lipatan kulit yang dalam yang mengelilingi tubuh antara kaki dan batang tubuh, dan terdapat rambut kaku yang pendek dan tebal. Dua tanduk menghiasi moncongnya, meski tanduk depan jauh lebih mencolok daripada tanduk hidung.

    Badak Sumatera memiliki penglihatan yang relatif lemah, lebih mengandalkan pendengaran dan penciuman untuk mendeteksi apa yang terjadi di sekitar mereka. Telinga hewan memiliki rentang rotasi yang relatif lebar untuk mendeteksi suara dan indra penciuman yang sangat baik untuk segera mengingatkan mereka pada kehadiran predator.

    Hewan itu penyebaran terdapat dari kaki pegunungan Himalaya di Bhutan dan India timur laut, melalui Cina selatan, Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam dan Semenanjung Melayu, dan ke pulau Sumatra dan Borneo di Indonesia.

    Berburu liar dan kehilangan habitat telah menjadikannya salah satu mamalia besar yang paling langka dan spesies ini menghadapi kepunahan meskipun beberapa dekade melakukan upaya konservasi. Pada tahun 2011, hanya sekitar 200 badak Sumatera yang diperkirakan masih hidup di alam bebas.

    "Spesies ini sudah dalam perjalanan menuju kepunahan untuk waktu yang sangat lama," kata rekan penulis Terri Roth, dari Pusat Konservasi dan Penelitian Satwa Liar yang Terancam Punah di Kebun Binatang dan Kebun Raya Cincinnati.

    Menurut tim, populasi badak sumatera memuncak pada saat bukti fosil menunjukkan invasi mamalia kontinental ke Sundaland, sekitar 900.000 tahun yang lalu.

    "Sekitar 12.000 tahun yang lalu (Pleistosen) banyak mamalia besar telah menderita, dan badak Sumatera tidak terkecuali," kata para periset.

    Naiknya permukaan laut menenggelamkan koridor Sundaland, dan jembatan darat yang menghubungkan pulau-pulau di Kalimantan, Jawa, dan Sumatra sampai ke Semenanjung Melayu dan daratan Asia lenyap ke laut.

    Kemungkinan besar akibatnya, populasi badak menyusut karena habitat yang cocok menjadi semakin terfragmentasi. Sejak saat itu, populasi badak sumatera hanya menyusut lebih lanjut karena tekanan yang meningkat terkait dengan hilangnya habitat dan perburuan.

    Para ilmuwan sampai pada kesimpulan ini dengan menggunakan banyak pendekatan. "Kami memperkirakan bahwa populasi badak sumatera mencapai puncaknya dengan perkiraan jumlah populasi efektif sekitar 57.800 orang sekitar 950.000 tahun yang lalu," kata mereka.

    "Dengan 9.000 tahun yang lalu, bukti genom menunjukkan, ukuran populasi yang efektif berkurang menjadi sekitar 700 badak sumatera."

    Temuan menunjukkan bahwa perubahan iklim di masa lalu jauh mengurangi keragaman genetik badak Sumatera, membuat mereka lebih rentan terhadap tekanan dari aktivitas manusia.

    "Sampel DNA yang kami urutkan milik seekor badak bernama Ipuh, setelah wilayahnya di pulau Sumatra dimana dia awalnya dikumpulkan," kata para penulis.

    Ipuh tinggal di Kebun Binatang Cincinnati selama 22 tahun sampai kematiannya pada tahun 2013, dan jenazahnya masih dipamerkan di Cincinnati Museum Center. Dua putra Ipuh terus tinggal di Suaka Badak Sumatera di Sumatera. Salah satu dari mereka sudah memiliki dua anak.

    "Spesies badak sumatera digantung oleh sebuah benang. Kita perlu berbuat lebih banyak untuk menyimpannya," kata Roth.

    Post a Comment